Gula, Rumah, dan Air




Praja Mangkunegaran sebagai salah satu kerajaan yang berada di Nusantara memiliki sejumlah bangunan peninggalan yang tersebar di sejumlah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu daerah yang masih menyisakan sejumlah bangunan peninggalan Praja Mangkunegaran yakni Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Lokasi Kabupaten Karanganyar yang berada di sebelah timur Kota Surakarta (Solo) tersebut merupakan bagian dari daerah kekuasaan Paja Mangkunegaran.
Terdapat sekitar tiga bangunan peninggalan Praja Mangkunegaran yang memiliki nilai historis serta manfaat bagi rakyat Mangkunegaran pada saat didirikan dahulu. Dalam penelusuran yang dilakukan penulis, terdapat tiga bangunan yang masih dapat dilihat bentuk fisiknya. Ketiga bangunan tersebut yakni Pabrik Gula (PG) Colomadu, PG Tasikmadu, serta pesanggarahan (penginapan, red) yang berada di Kecamatan Karangpandan. Hal tersebut pun juga diungkapkan oleh RM. Mr. A. K. Pringgodigdo dalam tulisannya Sejarah Perusahaan-Perusahaan Mangkunegaran (1983: 215).
Selain tiga bangunan perusahaan tersebut, juga terdapat sejumlah sumber air yang berada di Pablengan, Kecamatan Matesih, yang ditemukan oleh Mangkunegaran I. Sumber air yang memiliki tujuh sumber mata air yang berbeda jenis tersebut pun juga  memiliki nilai sejarah tersendiri dalam proses berdirinya Praja Mangkunegaran. Pasukan Samber Nyawa yang dipimpin oleh Mangkunegaran I untuk bergerilya melawan Belanda an melakukan peristirahatan di lokasi tersebut. Suwaji Bastomi mengutarakan hal serupa dalam bukunya Karya Budaya KGPAA Mangkunegaran I-VIII (1996: 94). Sumber mata air Pablengan yang saat ini dijadikan menjadi tempat wisata pemandian dengan tujuh jenis sumber air yang berbeda jenis dan manfaat.


Gunung Madu
Pabrik Gula (PG) Colomadu merupakan pabrik pembuatan gula pasir yang didirikan oleh Mangkunegaran IV. Seperti dikutip dari arsip Rekso Pustaka Mangkunegaran yang berjudul Hoodfstuk II, Opkomst der Mangkoenegorosche, Cultuur Belangen (2000: 16), yang dialihbahasakan oleh H.R. Soetono, pendirian PG Colomadu direncanakan oleh Mangkunegaran IV pada tahun 1861.
Dalam arsip tersebut dijelaskan bahwa salah satu alasan pendirian pabrik gula tersebut, lantaran pada tanah pegunungan yang dimiliki Mangkunegaran telah ditanami tanaman kopi. Maka pada bagian dataran rendah yang dikuasai oleh Praja Mangkunegaran ditanamai tanaman tebu yang juga menjadi bahan baku dalam industri gula.
Rencana pendirian pabrik tersebut pun disampaikan Mangkunegaran IV kepada Residen Surakarta yang menjabat pada saat itu, Nieuwenhuysen. Lokasi yang dipilih untuk didirikan pabrik tersebut yakni adalah Desa Malangjiwan yang saat ini berada di Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar. Pemilihan Desa Malangjiwan tidaklah tanpa alasan, pemilihan lokasi tersebut dikarenakan desa tersebut memiliki kualitas tanah yang baik, serta adanya aliran air yang baik, serta terdapat hutan di sekitar lokasi tersebut.
Peletakkan batu pertama pendirian PG Colomadu tersebut dilakukan pada 8 Desember 1861. PG Colomadu pun selesai dibangun pada tahun 1862. Pemberian nama Colomadu sendiri, dijelaskan bahwa berasal dari bahasa Jawa yang berarti gunung madu. Pada tahun pertama pengoperasiannya, pabrik ini dikelola oleh pimpinan berkebangsaan Jerman, R. Kamp. Pabrik ini juga merupakan pabrik pertama di nusantara yang beroperasi dengan mesin uap yang didatangkan dari Eropa.
Pendirian pabrik tersebut diketahui menelan dana hingga f400.000 pada saat itu. Dana yang digunakan untuk pendirian pabrik tersebut pada awalnya juga dibantu dari dana pinjaman yang diberikan pemerintah Belanda, serta pinjaman dari seorang berkebangsaan Tiongkok, Be Biauw Tjan, Mayor kaum Tiongkok di Semarang, yang juga sahabat Mangkunegaran IV.
Pada tahun 1863, PG Colomadu melakukan panen pertamanya. Panen tersebut menghasilkan 3.700 kuintal gula yang berasal dari tanaman tebu yang ditanam diareal seluas 95 hektar. Hal tersebut dapat diartikan bahwa dari setiap hektar kebun tebu yang ada pada saat tersebut mampu menghasilkan 39 kuintal gula.
Kesuksesan yang Berlanjut
Pabrik Gula (PG) Colomadu bukanlah satu-satunya pabrik gula yang didirikan Mangkunegaran IV. Selang sekitar 10 tahun setelah berhasil mendirikan dan mengoperasikan PG Colomadu, Mangkunegaran IV lantas menambah pendirian pabrik gula di daerah kekuasaannya. Pabrik gula kedua yang dibangun pada 11 Juni 1871 tersebut didirikan di desa Sondokoro yang saat itu berada di di distrik Karanganyar. Pemberian nama PG Tasikmadu pun diartikan sebagai lautan madu. Pada saat ini daerah tersebut telah menjadi kecamatan Tasikmadu  di Kabupaten Karanganyar.
Dalam arsip Hoodfstuk II, Opkomst der Mangkoenegorosche, Cultuur Belangen (2000: 21) yang dialihbahasakan oleh H.R. Soetono, menjelaskan bahwa pengoperasian PG Tasikmadu pertama kali dilakukan pada tahun 1874. Pengelolaan PG Tasikmadu tersebut pun kembali dipimpin oleh R. Kamp yang sebelumnya memimpin PG Colomadu.
Pada saat didirikan, pengoperasian PG Tasikmadu tersebut menggunakan tenaga air sebagai tenaga penggerak. Selain itu juga terdapat baling-baling dengan masin uap sebagai tenaga cadangan dalam pengoperasian pabrik gula kedua milik Mangkunegaran tersebut. Pada awal pendiriannya, pabrik ini memiliki lahan tebu seluas 140 hektare.
Peristirahatan Sang Raja
Pesanggrahan Karangpandan merupakan pesanggarahan atau penginapan yang para raja Mangkunegaran yang berada di desa Karangpandan, yang saat ini juga berada di Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar. Berdasarkan arsip yang berjudul Hoodfstuk II, Opkomst der Mangkoenegorosche, Cultuur Belangen (2000: 26), yang dialihbahasakan oleh H.R. Soetono, bahwa Hotel Karangpandan didirikan pada masa kepemimpinan Mangkunegaran II. Pesanggarahan tersebut pun dicatat telah mendapatkan renovasi pada tahun 1843 di masa kepemimpinan Mangkunegaran III dan tahun 1861 pada masa kepemimpinan Mangkunegaran IV.
Sementara itu berdasarkan data arsip lainnya yang berjudul Sejarah Perusahaan-Perusahaan Kerajaan Mangkunegaran (1983: 219) yang disusun oleh RM. Mr. A.K. Pringgodigdo, renovasi yang dilakukan oleh Mangkunegaran IV tersebut selesai pada masa kepemimpinan Mangkunegaran VII, yakni pada 12 November 1922. Lokasi Pesanggrahan Karangpandan sendiri berada di lereng barat Gunung Lawu, di atas ketinggian 2.200 kaki. Selain itu, Pesanggrahan Karangpandan tersebut juga dekat dengan dusun Pablengan yang berada di Kecamatan Matesih, yang memiliki tujuh sumber mata air yang disebut Sapta Tirta Pablengan yang juga ditemukan oleh Mangkunegaran I.
Setelah selesai direnovasi, Pesanggrahan Karangpandan tersebut juga digunakan sebagai penginapan untuk umum. Namun dalam usaha penginapan, peruntungan tidaklah berada di pihak Mangkunegaran. Pasalnya disebutkan bahwa pada tahun 1926, tidak lama setelah mendapatkan renovasi, pesanggrahan tersebut diniatkan akan dijual oleh pihak Mangkunegaran. Hal tersebut dikarenakan jumlah pengunjung yang datang untuk menginap di penginapan tersebut sangatlah minim.
Kurangnya minat pengunjung untuk menginap di Pesanggrahan Karangpandan tersebut diketahui lantaran tempat tersebut kalah bersaing dengan daerah Tawangmangu dan Sarangan yang berada lebih tinggi diatas Karangpandan. Sejumlah usaha untuk meramaikan pesanggrahan tersebut pun dilakukan oleh pihak kerajaan. Salah satu diantaranya adalah dengan mengadakan pertandingan tenis pada tahun 1928 dan 1931 di tempat tersebut.
Namun usaha yang telah dilakukan tersebut tidaklah berbuah manis. Pengunjung Pesanggrahan Karangpandan diketahui juga masih dalam angka minim. Pada akhirnya, pihak Mangkunegaran pun menutup tempat tersebut sebagai penginapan pada tahun 1931. Walaupun demikian, pihak Mangkunegaran memperbolehkan bagi warganya yang tuna kerja untuk tinggal di tempat tersebut, dengan syarat harus merawat pesanggrahan tersebut.
Ikon Wisata Abad ke-17
Sapta Tirta Pablengan merupakan suatu daerah yang terdapat di Dusun Pablengan, Matesih, Karanganyar, yang memiliki tujuh sumber mata air berbeda dalam kondisi yang saling berdekatan. Ketujuh sumber mata air tersebut ditemukan oleh Mangkunegaran I pada tahun 1755 pada saat dilakukannya Perjanjian Giyanti antara Sunan Pakubuwana III, Pangeran Mangkubumi, dan Belanda. Tempat ini pun disebut-sebut sebagai ikon Mangkunegaran pada abad 17 hingga abad ke 19. Mangkunegaran VI pun sempat membangun tempat pemandian para putri raja (keputren) di lokasi ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sambernyawa Tak Berjaya

Suara Sang Penjaga