Sambernyawa Tak Berjaya



Status kepemilikan bangunan-bangunan peninggalan Mangkunegaran memang menjadi permasalahan. Pertanyaan lain yang lebih penting untuk disimak adalah bagaimana kondisi dari seluruh bangunan tersebut pada masa sekarang. Hanya dengan mata telanjang, siapapun yang menengok seluruh bangunan tersebut dapat memberikan jawaban yang sama atas pertanyaan tersebut. Yakni tidak semua bangunan tersebut masih dalam kondisi yang baik. Bahkan untuk bangunan yang sudah mendapatkan anggaran dari pemerintah pun masih terlihat tanpa perawatan.

Dari keempat bangunan tersebut, Pabrik Gula (PG) Tasikmadu merupakan bangunan yang masih berfungsi sesuai dengan namanya sebagai pabrik gula. Meskipun PG Tasikmadu masih berfungsi sebagai pabrik pembuatan gula, terdapat perubahan terhadap mesin yang digunakan oleh pabrik tersebut. Pada awal pendirian PG Tasikmadu yakni pada tahun 1871 hingga 1988, pabrik tersebut menggunakan mesin berkapasitas 2.500 Tone Can per Day (TCD). Setelah itu, sejak tahun 1989 higga saat ini kapasitas mesin pun telah ditingkatkan menjadi 4.000 TCD. Pada tahun 2007, proses penggilingan pun berubah dari yang sebelumnya Karbonatasi menjadi Sulfitasi.
Sejumlah bangunan asli PG Tasikmadu pun masih terlihat berdiri kokoh. Yakni pabrik tersebut, bagian perkantoran, serta tempat persinggahan Mangkunegaran yang saat ini telah dijadikan sebagai rumah dinas Administratur PG Tasikmadu. Selain itu juga terlihat adanya penambahan bagian-bagian bangunan PG Tasikmadu tersebut.
Lokomotif asli yang ada sejak tahun 1821 dan 1981 pun juga masih terdapat di PG Tasikmadu. Beberapa bagian mesin penggilingan juga masih menggunakan mesin asli sejak pertama kali pabrik tersebut didirikan. Selain bangunan-bangunan lama yang masih ada, pada lingkungan PG Tasikmadu tersebut juga terlihat adanya penambahan bangunan sebagai objek wisata.
Bangunan tersebut dinamakan sebagai Agrowisata Sondokoro yang didirikan pada tahun 2005. Pada objek wisata tersebut, terdapat sejumlah wahana bermain dan tempat hiburan bagi masyarakat. Selain itu pada tempat tersebut juga terdapat teater pemutaran film proses pembuatan gula yang memberikan edukasi bagi masyarakat. Bahkan masyarakat juga dapat merasakan wisata menggunakan kereta uap yang dulunya digunakan sebagai moda transportasi pengiriman tebu dan gula.
Terkait lahan tebu, PG Tasikmadu tidaklah memiliki lahan tebu pada saat ini. PG Tasikmadu hanya mengandalkan tebu-tebu milik petani tebu yang tersebari di wilayah eks karesidenan Surakarta (Solo, Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri, Klaten, Boyolali, dan Sragen). Pihak PG Tasikmadu, Samiyono, menjelaskan bahwa pada saat ini, bahan baku yang pihaknya peroleh berasal dari pasaran bebas. Siapapun orang atau petani yang menanam tebu dapat menjualnya ke PG Tasikmadu.
Namun demikian, pihak PG Tasikmadu bukan berarti tidak merangkul para petani tebu. Para petani tebu yang akan menggiling hasil panen tebu miliknya ke pihak PG Tasikmadu akan mendapatkan bantuan mulai dari penanaman, pemupukan hingga bahan bakunya. Setelah dilakukan penggilingan, para petani akan diberikan gula hasil penggilingan tebu milik mereka. Penjualan selanjutnya akan diserahkan kepada petani tebu tersebut. Jika para petani menjual hasil gilingnya ke pihak PG, maka harga akan disesuaikan dengan harga bulog yang berlaku. Petani pun juga akan dikenakan pajak gudang untuk menimbun gula tersebut. Pada musim giling tahun 2013 lalu, PG Tasikmadu menghasilkan 4.500 ton gula.
Kondisi yang terlihat di PG Tasikmadu, jauh berbeda dengan PG Colomadu. PG Colomadu pada saat ini sudah tidak lagi beroperasi. Pabrik gula pertama yang dibangun oleh Mangkunegaran IV tersebut, sudah tidak dioperasikan sejak tahun 1997. Selang setahun, yakni pada 1998, PG Colomadu digabungkan dengan PG Tasikmadu menjadi PG Tasikmadu Afdeling Colomadu.
Bangunan PG Colomadu sendiri pada saat ini juga masih berdiri kokoh. Bagian perkantoran dari bangunan ini pun juga masih digunakan. Rumah dinas yang juga tempat peristirahatan Mangkunegaran pun juga masih berdiri kokoh di sebelah barat PG Colomadu. Samiyono mengungkapkan, untuk kelengkapan perusahaan seperti mesin sudah dalam keadaan tidak lagi digunakan. Sebagian mesin yang masih dapat digunakan diambil oleh PG lain dalam lingkup PTPN IX.
Kondisi yang tak kalah memprihatinkan juga terlihat pada bangunan Pesanggrahan Karangpandan. Rumah tersebut sudah tidak lagi menggambarkan sebagai lokasi peristirahatan raja Mangkunegaran seperti pada awal pendiriannya. Jika dilihat secara sekilas, bangunan tersebut masih berdiri kokoh. Hanya saja, saat memasuki bangunan tersebut, keadaan sebaliknya akan jelas terlihat.
Banyak genting yang sudah pecah pada bagian rumah ini. Bagian atap dan tembok pun sudah banyak yang terlihat sudah rapuh. Tembok diseluruh bagian rumah pun sudah banyak yang mengelupas serta sudah kotor karena lumut. Banyak ruangan yang sudah tak lagi dipakai dan tak lagi dapat dimasuki karena telah ditutup. Pada bagian bawah rumah terdapat sederetan kamar mandi yang sudah sangat kotor namun masih dapat digunakan.
Seluruh bagian rumah pun sudah sangat kotor dengan kotoran binatang. Pada bagian-bagian tertentu juga dapat ditemukan sesajen. Untuk penerangan di malam hari pun hanya terdapat pada satu bagian rumah yang ditinggali oleh abdi dalam yang menjaga rumah tersebut. Sadi merupakan abdi dalam yang menjaga pesanggrahan tersebut bersama dengan keluarganya.
Menurut Sadi, saat ini sudah tidak ada lagi biaya perawatan yang diberikan pihak Mangkunegaran terhadap bangunan tersebut. Dirinya mengaku membiayai sendiri untuk perawatan rumah tersebut. Sadi dan keluarganya telah menjaga pesanggrahan tersebut sejak tahun 1999, sebelumnya tempat tersebut dijaga oleh abdi dalam lainnya.
Pihak Mangkunegaran sangat jarang terlihat di lokasi Pesanggrahan Karangpandan, bahkan untuk sekedar menengok ke tempat tersebut. Sejak tahun 1999, kedatangan Mangkunegaran IX yang saat ini bertahta dapat dihitung dalam hitungan jari, yakni sekitar 4 kali. Kedatangan terakhir sang raja yang saat ini bertakhta pun sekitar 4 tahun lalu. Tak ada perhatian yang berarti pada saat kedatangan yang terakhir tersebut, pihak Mangkunegaran pun hanya sekedar melihat-lihat saja pada waktu itu.
Sedangkan untuk bagian pesanggrahan yang telah dijual dan dibangun villa modern oleh pihak swasta, juga terlihat tidak terawat. Terdapat sekitar 25 unit villa modern yang dibangun di tanah bekas Pesanggrahan Karangpandan tersebut, namun belum semuanya terbangun sempurna. Sebagian villa tersebut pun telah dijual kepada perorangan, yang kebanyakan pengusaha.
Pemilik villa-villa modern tersebut pun berasal dari Solo, Sukoharjo, Ngawi, dan beberapa daerah lain, namun sangat jarang terlihat menyambangi villa tersebut. Sadi juga mengungkapkan bahwa harga villa tersebut sangatlah mahal. Untuk villa termurah saja berharga sekitar Rp 800 juta, sedangkan villa termahal dijual dengan harga Rp 2 miliar.
Berbeda dengan PG Colomadu dan juga Pesanggrahan Karangpandan, Sapta Tirta Pablengan terlihat lebih terawat. Hingga saat ini, Sapta Tirta Pablengan sendiri telah dikelola oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karanganyar yang menjadikan lokasi sumber air ini menjadi objek wisata. Walaupun terlihat terawat, keadaan Sapta Tirta Pablengan sebagai objek wisata masih menimbulkan sejumlah pertanyaan.
Sugeng Karyanto, PNS Disparbud Karanganyar, menjelaskan hingga saat ini, tidak ada biaya perawatan rutin dari pihak Pemkab Karanganyar untuk objek wisata tersebut. Pengelolaan objek wisata tersebut pun hanya dilakukan Sugeng bersama dengan seorang anak buah yang merupakan tenaga honorer di lingkungan Disparbud Karanganyar.
Selama ini, pembangunan yang ada di objek wisata Sapta Tirta Pablengan hanya sebatas  pembangunan fisik yang dianggarkan oleh pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Karanganyar. Pengalokasian anggaran pembangunan fisik yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah pun terkesan sia-sia.
“Hanya bongkar pasang bangunan sia-sia. Gazebo tak ada fungsinya, kamar mandi pindah-pindah. Kegunaannya untuk jadi apa belum ada. Masterplan mau dijadikan apa belum ada,” ungkap Sugeng kepada penulis (19/12/2013).
Sebagai objek wisata, Sapta Tirta Pablengan yang memiliki luas 7000 m2 tidak menghasilkan banyak pemasukan bagi Pemkab Karanganyar. Dalam setahun rata-rata, objek wisata ini hanya menghasilkan Rp 15 juta untuk APBD Karanganyar.
Secara fisik bangunan, tempat ini terbilang cukup tertata. Untuk ketujuh sumber mata air telah dibangun dinding yang terbuat dari batu alam dan atap. Para pengunjung pun dapat menggunakan sumber mata air untuk mandi. Juga terdapat kamar mandi dengan bathup untuk berendam. Selain itu juga terdapat bangunan keputren yang dibangun oleh Mangkunegaran VI yang telah diperbaiki. Namun suasana sepi masih terlihat jelas di tempat tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gula, Rumah, dan Air

Suara Sang Penjaga