Tiga Elemen, Tiga Peran
Praja
Mangkunegaran sudah tidak lagi memiliki kewenangan dalam pengelolaan sejumlah
bangunan peninggalannya pada saat ini. Hal tersebutlah yang diungkapkan oleh
akademisi dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Drs. Susanto M.Hum., Susanto
pun sepakat bahwa hal tersebut pun juga merupakan problem tersendiri dalam
pemeliharaan bangunan peninggalan Praja Mangkunegaran.
Salah
satu yang dicontohkan adalah pengelolaan Pabrik Gula (PG) Tasikmadu dan
Colomadu. Seperti diketahui, Mangkunegaran tidak lagi mengelola kedua pabrik
gula tersebut. Hal tersebut pun menjadikan pendapatan kas Praja Mangkunegaran
menjadi mengecil. Hingga saat ini pun, pihak Mangkunegaran mengandalkan bantuan
dari pemerintah untuk perawatan Pura Mangkunegaran yang berada di wilayah Kota
Solo. Hal tersebut menggambarkan bahwa permasalahan keuangan juga akan menjadi
kendala tersendiri dalam pemeliharaan bangunan-bangunan peninggalan tersebut.
Permasalahan
daerah territorial pun juga merupakan kendala tersendiri yang dipaparkan oleh
Susanto. Berdasarkan sejarah, pada awal berdirinya Praja Mangkunegaran,
Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu daerah territorial Praja
Mangkunegaran. Namun tak lama setelah bergabungnya Praja Mangkunegaran dengan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terjadi gerakan anti swapraja yang
menyebabkan Kabupaten Karanganyar memisahkan diri dan menjadi daerah tingkat
II.
Dengan
tidak menyampingkan berbagai macam kendala yang akan dihadapi dalam pengelolaan
pelestarian bangunan-bangunan tersebut, hal utama yang harus dilakukan adalah
kerjasama yang baik antara pihak Pemkab Karanganyar sebagai pemilik wilayah
pada saat ini dan juga pihak Mangkunegaran yang menjadi bagian dari sejarah
tersebut. Dengan keadaan tersebut, inisiatif untuk melakukan pengelolaan
bangunan bersejarah tersebut, harus dilakukan pertama kali oleh pihak Pemkab
Karanganyar. “Bisa saja mangkunegaran punya inisiatif, namun kan berbicara
permasalahan ini juga harus ditunjang dengan kekuatan ekonomi,” papar Susanto
saat ditemui di ruang Program Studi Sejarah FSSR UNS (6/1/2014).
Gambaran Suram Kemewahan Masa Lampau
Ketidakberdayaan
Mangkunegaran sendiri digambarkan Susanto pada pengelolaan Pura Mangkunegaran
beserta bangunan di dalamnya seperti perpustakaan Rekso Pustaka. Banyak bagian
dalam bangunan tersebut yang sudah dalam keadaan rusak. “Gambaran lama mangkunegaran
menjadi sangat suram. Gambaran lama yang serba mewah, istana yang indah, sudah
menjadi suram tidak membekas” ungkap Susanto.
Penekanan
lain yang disampaikan Susanto dalam pelestarian bangunan-bangunan tersebut
adalah permasalahan nilai. Menurut Susanto, untuk menjadikan bangunan-bangunan
yang terpelihara adalah bangunan yang bermakna. Pemberian makna sebuah bangunan
tersebut dapat dilakukan oleh pemilik bangunan tersebut ataupun pihak-pihak
tertentu yang mengetahui nilai historis dari bangunan-bangunan tersebut.
“Selama tidak diberi makna, ya sudah akan terbengkalai, hanya menjadi bangunan
kosong. Untuk memberi makna itu butuh biaya dan tidak sedikit,” tegas Susanto.
Bangunan-bangunan
bersejarah tersebut juga harus dijauhkan dari aktivitas politik yang ada.
Seperti yang terjadi pada Pesanggrahan Karangpandan, dimana tempat tersebut
sempat dijadikan lokasi tahanan politik sekitar tahun 1965-1969. Menurut
Susanto, dengan terjadinya hal tersebut menghilangkan makna kewibawaan dari
symbol-simbol istana yang ada. Untuk pemberian makna baru bagi
bangunan-bangunan tersebut, dinilai Susanto, harus ada inisiatif yang dilakukan
oleh pemerintah. Yakni dengan menjadi pengikat sejarah yang telah ada.
Sementara
itu jika dikaitkan dengan UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Susanto
menjelaskan bahwa pemerintah tidak serta merta dapat disalahkan jika tidak
melakukan pelestarian bangunan-bangunan peninggalan sejarah tersebut. Hal
tersebut disebutkan oleh Susanto dapat disebabkan oleh beberapa hal, yakni seperti
ketidaktahuan dari pemerintah ataupun tidak adanya dinas terkait yang menangani
hal tersebut.
Namun
jika pemerintah tidak melakukan pelestarian terhadap bangunan-bangunan
bersejarah tersebut, dapat diartikan bahwa pemerintah tidak dapat memanfaatkan
potensi yang ada di wilayahnya. “Harus ada komunitas peduli cagar budaya yang
diinisiasi pemerintah. Kewajiban membuat tim verifikasi juga harus dilakukan
pemerintah,” kata Susanto kepada penulis.
Masyarakat, elemen yang
diperhitungkan
Satu
elemen yang harus diperhitungkan dalam pelestarian bangunan-bangunan bersejarah
tersebut adalah elemen masyarakat. Hal ini dapat diumpamakan sebagai sebuah
komunitas masyarakat yang peduli dengan hal-hal tersebut. Menurut Susanto,
masyarakat akan memiliki peranan penting dalam usaha pelestarian tersebut.
Terlebih lagi jika masyarakat sendiri yang memiliki inisiatif untuk pengelolaan
bangunan-bangunan tersebut. “Jika terjadi permasalahan, masyarakat pun bisa
langsung peduli pada bangunan-bangunan tersebut,” ungkapnya.
Pentingnya
inisiatif dari masyarakat tersebut merupakan sebuah kepedulian dari masyarakat.
Salah satu cara dalam menimbulkan kepedulian dari masyarakat adalah dengan
melibatkan masyarakat, tidak selalu hanya melibatkan pemerintah saja. “Sehingga
masyarakat menganggap itu (bangunan peninggalan) sebagai bagian dari masyarakat
sendiri,” jelas Susanto.
Sementara
itu, untuk contoh dari pihak Mangkunegaran kepada masyarakat untuk perawatan
bangunan-bangunan tersebut, sudah tidak perlu dilakukan. Hal tersebut
dikarenakan untuk pelestarian dan perawatan bangunan-bangunan bersejarah
tersebut sudah bukan wewenang pihak Mangkunegaran lagi. “Secara historis
memang. Jika masyarakat berfikir Mangkunegaran saja tidak perduli, itu betul,”
ungkapnya.
Pemikiran
masyarakat yang seperti demikian, merupakan suatu kelemahan yang berada di
tengah-tengah masyarakat. Masyarakat seharusnya juga memiliki peranan penting
pada saat ini. Penyebab berkembangnya ketidakpedulian tersebut di masyarakay
dikarenakan masyarakat sudah terlalu lama tidak diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pemeliharaan bangunan-bangunan bersejarah tersebut.
“Pemerintah juga harus mengedukasi
masyarakat,” tegasnya.
Keberadaan
Masyarakat Sejarahwan Karanganyar (MSK) tersebut merupakan salah satu hal
penting yang harus dilibatkan. Namun demikian, MSK sendiri jangan sampai
bergantung pada pemerintah semata dalam hal usaha pelestarian bangunan-bangunan
bersejarah tersebut. “MSK sebagai wakil dari masyarakat dapat menjadi penekan
bagi pemerintah untuk membuat suatu kebijakan dalam hal ini,” terang Susanto.
Meskipun
pendanaan juga menjadi permasalahan tersendiri, hal tersebut janganlah
dijadikan suatu hambatan. Ide untuk pelestarian bangunan-bangunan tersebut
lebih berharga untuk mewujudkan terobosan baru dalam hal pelestarian. “Ide yang
penting. Masalah dana, pemerintah pasti punya dana dan dapat dianggarkan,”
jelasnya.
Seperti
pada pabrik gula, pelestarian dapat dilakukan pada pabrik yang sudah tak
beroperasi yakni PG Colomadu. Menurut Susanto, bekas pabrik gula tersebut dapat
dijadikan apa saja, dan pihak pengelola dapat bekerjasama dengan donator non
profit. Namun satu hal yang harus ditekankan adalah dengan tidak mengubah
bangunan asli pabrik tersebut.
Menara gading
Peranan
terakhir yang juga tak kalah penting adalah kalangan akademisi. Susanto
menggambarkan bahwa pihak kampus dalam hal ini akademisi tidak bisa hanya
sebagai menara gading dalam hal pelestarian bangunan bersejarah. Perumpamaan
tersebut diartikan bahwa pihak akademisi janganlah hanya datang ke lokasi-lokasi
tersebut sebagai usaha memperoleh data penelitian dan meninggalkannya tanpa ada
komunikasi lanjutan. “Harus ada komunikasi yang baik antara pihak kampus,
masyarakat dan pemkab,” ungkap Susanto.
Hal
tersebut digambarkan sebagai tripartite antara masyarakat, pemerintah, dan
akademisi. Yakni dimana masyarakat berprilaku tidak peduli dengan peninggalan
sejarah tersebut, pihak akademisi dapat mencari tahu penyebabnya dan
menyampaikan kepada pemerintah sebagai masukan. Begitu juga jika pihak
pemerintah tidak menjalankan perannya, pihak masyarakat bersama-sama dengan
akademisi dapat mengingatkan pemerintah.
Hal
yang sama juga dapat dilakukan pemerintah dan masyarakat jika pihak akademisi
tidak menjalankan perannya. “Untuk apa ada kampus jika tak ada yang peduli.
Kampus itu kan harusnya memiliki manfaat,” tegas Susanto.
Akademisi
sebagai komunitas ilmiah, pemerintah sebagai pembuat kebijakan, dan masyarakat
sebagai pengguna harus menjadi satu dalam hal pelestarian bangunan-bangunan
tersebut. Setelah semua hal tersebut, yang harus diperhatikan adalah azas
kemanfaatan pada kampung yang ada di lingkungan bangunan-bangunan tersebut
berada. “Semua kebijakan bermuara pada public
services,” pungkasnya.
Komentar
Posting Komentar